Ia lalu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya mengambil segelas air. Ditaburkannya garam kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
“Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya”,ujar Pak Tua.
“Pahit. Pahit sekali,”jawab sang tamu sambil meludah ke samping.
“Coba ambil air telaga ini dan minumlah!”
Saat tamu itu selesai meneguk air telaga,
Pak Tua berkata lagi,”Bagaimana rasanya?”
“Segar,”sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” Tanya Pak Tua lagi.
“Tidak,”jawab si anak muda.
Pak Tua menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, dan bersimpuh di samping telaga.
“Anak muda, dengarlah! Pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua bergantung pada HATI kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan".
LAPANGKANLAH DADAMU menerima semuanya.
LUASKANLAH HATIMU untuk menampung setiap kepahitan itu.
Pak Tua lalu kembali memberikan nasehat,
“Hatimu adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan hatimu seperti gelas,
buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan
dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk anak muda yang lain, yang datang padanya dengan membawa keresahan jiwa.
Dikutip dari sebuah milis
0 komentar:
Posting Komentar